PATROLI SULSEL ■ The Asia Campaign Director at Survival International, Sophie Grig menemui Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti. Dalam pertemuan di kediaman Ketua DPD RI, kawasan Kuningan, Setiabudi, Jakarta Selatan, Shopie merespon positif pernyataan Ketua DPD RI dalam rilis resminya terkait perlindungan Orang Tobelo Dalam atau Suku Togutil, yang masuk ke areal pertambangan lantaran diduga kuat hutan tempat tinggal mereka tergusur.
Dalam pertemuan tersebut, Ketua DPD RI didampingi Ketua Badan Akuntabilitas Publik Tamsil Linrung, Pimpinan Komite II Bustami Zainudin, anggota Komite III Abdi Sumaithi dan Staf Khusus Ketua DPD RI, Sefdin Syaifudin serta staf ahli bidang internasional, Pitan Daslani.
"Saya menyambut baik pernyataan Ketua DPD RI yang meminta agar hak-hak masyarakat yang memilih hidup di dalam hutan dilindungi. Menurut catatan kami, hal itu adalah satu-satunya pernyataan yang keluar dari Lembaga Negara di Indonesia Sebab, hutan telah menjadi tempat mereka hidup. Dan berdasarkan data lapangan yang kami miliki, zona hidup mereka semakin tergusur oleh kawasan pertambangan," kata Shopie, Selasa (18/6/2024).
Shopie meminta agar Pemerintah Indonesia memperhatikan dengan baik mengenai nasib masyarakat yang secara internasional disebut 'orang yang mengisolasi mandiri' ini. Dunia internasional, lanjut Shopie, akan melihat bagaimana proses dari mineral di Indonesia dihasilkan.
Apabila terindikasi perusakan lingkungan, menggusur hutan orang yang mengisolasi mandiri dan hal lain yang termasuk kategori kejahatan lingkungan, maka hal itu akan menjadi persoalan tersendiri.
"Maka dari itu, saya kira dalam hal ini eksistensi orang yang mengisolasi mandiri harus menjadi perhatian serius pemerintah dalam hal proses pertambangan minerba mereka," papar Shopie.
Shopie mengaku lembaganya telah lama memperhatikan Orang Tobelo Dalam. "Kami mendengarkan keluhan dan masalah yang mereka hadapi. Ada banyak hal yang menimbulkan masalah bagi mereka, salah satunya keberadaan perusahaan tambang yang mengganggu hutan tempat hidup mereka," ujarnya.
Dikatakan Shopie, saat ini jumlah Orang Tobelo Dalam sekitar tiga ribuan jiwa. Hanya saja, ada sekitar 400 hingga 500 jiwa yang memilih mengisolasi mandiri di dalam hutan-hutan Halmahera Barat.
"Tahun 2016-2022 terjadi kerusakan hutan yang hebat oleh aktivitas pertambangan yang semakin meluas. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menemukan lebih dari 25 pelanggaran yang dilakukan perusahaan tambang. Dan pada tahun 2022-2024 mereka (perusahaan tambang) mendapat rapor merah dari KLHK," tutur Shopie.
Oleh karenanya, Shopie mengusulkan beberapa solusi atas permasalah yang dihadapi oleh Orang Tobelo Dalam. Pertama, tidak boleh ada kegiatan pertambangan di wilayah hutan yang dihuni oleh orang yang mengisolasi mandiri. Kedua, tidak boleh ada upaya untuk menghubungi atau mempengaruhi mereka. Ketiga, tidak boleh ada pemaksaan merusak hutan tempat mereka bergantung hidup.
"Keempat, Survival International berharap DPD RI dapat mendukung upaya untuk menciptakan kawasan 'daerah tak tersentuh' (no go zone) untuk melindungi keberlangsungan hidup mereka," harap Shopie.
Kelima, Shopie berharap DPD RI dapat menyurati dan berbicara kepada Presiden, Kementerian terkait dan perusahaan tambang itu sendiri terkait hal ini.
Menanggapi hal tersebut, Ketua BAP, Tamsil Linrung mengapresiasi paparan Shopie.
Menurutnya, data yang disampaikan Shopie merupakan masukan yang luar biasa bagi DPD RI.
"Tentu saja ini menambah data kami untuk dapat bertindak lebih lanjut. Kami akan teruskan hal ini, baik kepada Presiden, Kementerian, Pemda maupun perusahaan pertambangan," kata Tamsil.
Tamsil juga sepakat untuk menciptakan wilayah tak tersentuh sebagaimana direkomendasikan Survival International. "Kita akan berusaha untuk menjadikan daerah tersebut sebagai daerah tak tersentuh. Kalau tidak dalam waktu dekat, kemungkinan setelah pelantikan Presiden nanti," ujar Tamsil.
Dalam kesempatan itu, Ketua DPD RI kembali meminta kepada Pemerintah Provinsi (Pemprov) Maluku Utara dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Halmahera Barat untuk memperhatikan dengan baik persoalan ini. Sebab, kata LaNyalla, Pemprov Maluku Utara dan Pemkab Halmahera Barat sesungguhnya telah memiliki Perda Tata Ruang terkait hal ini, yakni Perda Nomor 2 Tahun 2023 tentang RTRW dan Perda Nomor 8 Tahun 2014 tentang Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat di Wilayah Pertambangan.
"Semestinya, hutan adat dan hutan negara itu dipisah, sebagaimana putusan Mahmakah Konstitusi Nomor 35/PUUX/2012. Jadi, yang bisa diberikan hak konsesi itu adalah hutan negara. Sementara hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Ini harus diperhatikan agar tidak tumpang tindih dan merugikan masyarakat adat, seperti menimpa Orang Tobelo Dalam," kata Senator asal Jawa Timur itu.(*)